Berikut ini adalah sejarah asal
kata nama Indonesia. Bila kita belajar sejarah hanya sebatas hafalan dan nilai
bagus saja, maka tidak akan ada gunanya, hanya nyempit-nyempitin ruang di dalam
pikiran kita saja. Tetapi bila kita ditanamkan rasa cinta kepada tanah air,
maka sejarah akan mempengaruhi seluruh karya kita. Ini yang tidak dilakukan
oleh sistem pendidikan kita. Seperti kalau kita jatuh cinta pada seseorang,
pasti akan setengah mati mengetahui sejarah dia dan asal usulnya. Bila belajar
sejarah seperti itu, tentunya akan sangat mengasyikkan. Berkarya bukan lagi
dengan pikiran, tetapi dengan rasa. Karena rasa menciptakan keunikan dan
kreatif.
Mudah-mudahan artikel berikut ini
dapat membuka wawasan kita tentang Indonesia dan kemudian dapat terpancing
untuk lebih lanjut mencari tahu sendiri. Sehingga seluruh kerja dan karya kita
tidak lagi hanya meniru, tetapi merupakan suatu persembahan kreatif kepada diri
sendiri, negara dan masyarakat dunia. -zee
Asal Usul Nama Indonesia, oleh Irfan Anshory
Asal Usul Nama Indonesia, oleh Irfan Anshory
Pada zaman purba, kepulauan tanah
air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan
kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno
bangsa India
menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang
diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian
terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau
Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Nusantara
Dwipantara
Bangsa Arab menyebut tanah air
kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe,
berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab
memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh
di Sumatra . Sampai hari ini jemaah haji kita
masih sering dipanggil “Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia
luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang
pedagang di Pasar Seng, Mekah. Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu
beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab , Persia , India , dan Cina. Bagi mereka,
daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah
"Hindia".
Semenanjung Asia Selatan mereka
sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia
Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan
Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau
"Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies ,
Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan
Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah
oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie
(Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai
istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal
dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk
menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga
"Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi
rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde
mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest
Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950),
yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India ".
Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam
berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno
zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan
oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun
1920.
yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "
Namun perlu dicatat bahwa
pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian,
nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk
menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya
luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah
mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara,
isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya
menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang
berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan
mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru
yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun
termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi
ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama
Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara
tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai
Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia . Kini akan kita telusuri
dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura
terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and
Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869),
orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian
pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor
Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850,
halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the
Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama
Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan
dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti
pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the
Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians
or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih
nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia),
sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga
digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata
Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya
itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah
Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga,
halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the
Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan
pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah
"Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama
Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar
ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia .
Untuk pertama kalinya kata
Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour
of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a shorter synonym for
the Indian Islands or the ! Indian Archipelago.
Ketika mengusulkan nama "Indonesia "
agaknya Logan
tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan
negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara
konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan
ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para
ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di
Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian
(1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen
Archipel sebanyak lima
volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita
tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah
"Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul
anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang
tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van
Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia " itu dari tulisan-tulisan Logan .
Putra ibu pertiwi yang mula-mula
menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan
sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna Politis
Makna Politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama
"Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi
itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita,
sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu
identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah
Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif
Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi)
di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang
terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi
Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia
Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan denganIndia
yang asli. Bagi kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia
(Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan
Sementara itu, di tanah air Dr.
Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan
Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada
tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische
Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula mula
menggunakan nama "Indonesia ".
Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa
dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober
1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga
orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni
Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi
kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai
pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga
mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku.
Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942,
lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada
tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah
Republik Indonesia .