Keberadaan dan asal-usul pahlawan yang
kondang dengan Sumpah Palapa ini masih menjadi misteri bagi semua orang.
Bahkan para ahli sejarah pun belum menemukan kata sepakat dimana dia
dilahirkan. Dimana dia dibesarkan sampai bagaimana sosok Patih Gajah
Mada menghabiskan masa tuanya sampai saat ini menjadi tanda tanya besar.
Serta menjadi teka-teki sejarah yang belum terpecahkan.
Ada bahasan menarik yang disampaikan
oleh sastrawan Anuf Chafiddi atau sering dipanggil Viddy AD Daery dalam
makalahnya dalam Seminar Sesi II tentang Kontroversi Gajah Mada dalam
Perspektif Fiksi dan Sejarah di Borobudur Writers & Cultural
Festival 2012 di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur,
Magelang, Jateng.
Secara tegas dirinya memberikan judul dalam makalahnya; “Foklor Mengenai Gajah Mada Lahir di Modo, Lamongan” yang artinya menyatakan dirinya yakin bahwa Gajah Mada dilahirkan, besar dan mati di Lamongan, Jatim.
Secara tegas dirinya memberikan judul dalam makalahnya; “Foklor Mengenai Gajah Mada Lahir di Modo, Lamongan” yang artinya menyatakan dirinya yakin bahwa Gajah Mada dilahirkan, besar dan mati di Lamongan, Jatim.
“Gajah Mada pahlawan maha besar
nusantara itu lahir di wilayah Lamongan, Jawa Timur? Untuk menjawab
pertanyaan itu akan menimbulkan berbagai macam jawaban kalau ditanyakan
ke banyak orang. Namun kalau ditanyakan kepada saya. Jawaban saya adalah
betul,” ungkap Viddy.
Ada lima alasan yang menjadikan Viddy
yakin bahwa Gajah Mada berasal dari Lamongan, Jatim. Alasan itu di
antaranya, di daerah Desa Modo dan sekitarnya termasuk Desa Pamotan,
Desa Ngimbang, Desa Bluluk, Desa Sukorame dan sekitarnya tersebar foklor
atau cerita rakyat. Dongeng dari mulut ke mulut mengisahkan bahwa Gajah
Mada adalah kelahiran wilayah Desa Modo.
Kelima desa itu merupakan daerah ibu
kota sejak didirikan jaman Kerajaan Kahuripan Erlangga. Bahkan anak cucu
raja juga mendirikan ibu kota di situ. Alasanya strategis alamnya
bergunung-gunung, bagus untuk pertahanan dan dekat dengan Kali Lamong
cabang Kali Brantas. Selain itu ada jalan raya Kahuripan-Tuban yang
dibatasi Sungai Bengawan Solo di Pelabuhan Bubat (kini bernama Kota
Babat). Ibu kota ini baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah
Kertosono-Nganjuk.
Kemudian baru di zaman Jayabaya digeser
lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken Arok, digeser masuk lagi
ke Singosari. Baru kemudian oleh R Wijaya dikembalikan ke arah muara
yaitu ke Tarik. Namun, anaknya yang akan dijadikan penggantinya yakni
Tribuana Tunggadewi diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi
yaitu di Kahuripan alias Rani Kahuripan, Lamongan.
“Ketika Gajah Mada menyelamatkan Raja
Jayanegara dari amukan pemberontak Ra Kuti, dibawanya Jayanegara ke arah
Lamongan yaitu di Badender (bisa Badender Bojonegoro, bisa Badender
kabuh, Jombang, keduanya memiliki rute ke arah Lamongan
(Pamotan-Modo-Bluluk dan sekitarnya). Itu sesuai teori masa anak-anak
dimana kalau anak kecil atau remaja berkelahi di luar desa pasti jika
kalah lari menyelamatkan diri masuk ke desa minta dukungan. Di desanya
banyak teman, kerabat maupun guru silatnya. Saya kira Gajah Mada juga
menerapkan taktik itu,”ungkapnya.
Sebuah situs kuburan Ibunda Gajah Mada,
yaitu Nyai Andongsari juga menjadikan Viddy yakin bahwa patih kerajaan
jaman Majapahit itu berasal dari Lamongan. Kemudian juga ada situs
kuburan yang sampai saat ini menjadi perdebatan dan kontroversial yang
diyakini warga sekitar merupakan kuburan patih Gajah Mada. Namun,
kuburan itu dalam posisi dan berkarakter kuburan islam.
“Kuburannya menghadap ke arah persis
sebagaimana kuburan orang Islam. Kalau misalnya hal ini benar maka wajar
saja masa tua Gajah Mada tidak ditulis di babad-babad atau kitab kuno.
Sengaja disisihkan atau dihapus dari sejarah karena Gajah Mada mungkin
dianggap ‘murtad’ atau semacam itu,” jelasnya.
Arkeolog sekaligus sejarawan Fakultas
Sejarah Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar menyatakan secara
arkeologis belum ditemukan data tentang asal muasal dan keberadaan pasti
Gajah Mada. Bahkan beberapa temuan prasasti-prasasti yang menyinggung
tentang cerita Gajah Mada belum dan tidak bisa digunakan untuk
penelitian dan memastikan benang merah sejarah cikal bakal Gajah Mada
itu sendiri.
“Beberapa data soal keberadaan Gajah
Mada yang belum digunakan. Data Gajah Mada secara arkeologis tidak ada.
Yang ada nanti jika digunakan menjadi tafsir di atas tafsir. Prasasti
yang terabaikan itu diantaranya: Prasasti Gajah Mada di situs Candi
Singosari (Tahun 1351 M), Prasasti Relief Mahameru (Pawitra) yang
menjelaskan Mahameru sebagai titik asis mundi.
Kemudian penemuan Candi Tikus di situs
Trowulan yang gayanya mirip Candi Singosari. Mungkinkah Candi Tikus
diperintah Gajah Mada untuk dibangun.
“Candi Kepung 7 meter di muka tanah
sangat dekat dengan Candi Tikus di Kepung Kediri. Ada lagi Prasasti
Hemadwalandit, Prasasti Bendodari (Tahun 1360 M),”tuturnya.
Agus Aris menyatakan karena tidak ada
bukti arkeologis yang ditemukan terkait keberadaan dan cikal bakal Gajah
Mada dan saking menariknya tokoh yang satu ini, banyak sekali daerah
yang sampai mengklaim secara lisan bahwa di daerah mereka merupakan asal
muasal maupun tempat meninggalnya Gajah Mada.
“Ada yang mengakui bahwa Gajah Mada dari
Buton, Gajah Mada dari Wange-wange Bali. Ada yang bahkan mengatakan
bahwa Gajah Mada adalah keturunan pasukan Tor-Tor,”ungkap Agus Aris
Munandar.
Sampai saat ini, penelitian Arkeologi
belum berhasil menemukan jati diri, sosok Gajah Mada yang seutuhnya.
Sebab dari arkeologi sejarah, mempunya peringkat validitas data.
“Data primer, data sekunder dan data
tertier. Berita- berita dari mulut ke mulut (folklor) itu, menurut Aris
itu merupakan data tersier dan bersifat negatif. Data primer prasasti
itu mutlak dan dibuat pada jamanya. Prasasti dengan angka tahun dihargai
dengan angka tahun. Data pendukung: zaman, bergeser. Negarakertagama
lebih falid dari Pararathon. Ada peringkat yang tidak bisa kami tabrak
begitu saja. Silahkan multi tafsir nanti akan diperbaiki,” kata Agus.
No comments:
Post a Comment