Dalam historiografi tradisional Asia
Tenggara, perompak atau bajak laut, pekerja seks, tukang rickshaw dan
kelompok orang kecil lain seolah dikelompokkan sebagai underclass dan
dipresentasikan sebagai the people without history. Padahal, mereka
justru merupakan elemen penting yang mempengaruhi perubahan lanskap
budaya dan sejarah Asia Tenggara.
Temuan brilian itu antara lain terungkap
lewat buku baru yang menggunakan pendekatan etnografi kesejarahan untuk
menganalisa masa lalu Asia Tenggara. Orang yang tak diperhitungkan itu,
menurut penulis, termasuk pula petani kecil, kuli perkotaan,
perompak/orang gipsi laut.
Terinspirasikan pendahulunya, Prof John
Smail, yang menganjurkan penulisan sejarah otonom dengan perspektif
paralel (hal 4), penulisnya mencoba menuliskan sejarah Asia Tenggara
berdampingan dengan ingar-bingarnya sejarah imperialisme Barat, lewat
pemanfaatan sebanyak mungkin sumber dan data sejarah lokal yang
terabaikan selama ini.
Pendekatan kesejarahan seperti itu jelas
menghasilkan rekonstruksi sejarah alternatif atas beberapa kelompok
masyarakat di wilayah ini, yakni sejarah dari mereka yang selama ini
termarginalkan.
Usaha penulis jelas telah menambah
deretan sejarawan lain yang mencoba (dan berhasil) dalam menghidupkan
kembali suara-suara kelompok yang terpinggirkan untuk muncul bergema
kuat dalam historiografi sejarah. Dengan menggunakan temuan arkeologi,
tradisi oral, dan materi visual demi mengayakan sumber tertulis, Jean
Taylor, dalam Indonesia: Peoples and Histories (2003), misalnya,
berhasil merekonstruksikan sejarah Indonesia yang lebih plural,
mengangkat komunitas kecil dan topik-topik yang dianggap sepele untuk
memperlihatkan kontribusi kuat mereka dalam proses-proses penciptaan
Indonesia modern.
Tidak berbeda dengan Taylor, Ruth Balint
dalam Troubled Waters: Borders, Boundaries, Possession in the Timor Sea
(2005) juga berhasil mengangkat dinamika peradaban yang hidup,
berkembang dan menghilang di area perairan selatan Indonesia, yakni
wilayah antara Laut Timor dan pesisir utara Australia. Kisah nelayan
Timor dan masyarakat asli Aborigin di sana dapat mencuat berkat
penolakan Balint atas penggunaan konsep partisi geografi modern abad
ke-20 sebagai pembatas Asia Tenggara dengan Benua Australia.
Seperti Balint, dalam buku ini Warren
melakukan pendekatan yang kurang lebih sama: mengadopsi konsep
kewilayahan Asia Tenggara yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan
sejarawan sosial sebelumnya. Penggunaan bahan arsip secara ekstensif
memang telah menolong sekali dalam penyusunan kisah sejarah naratifnya.
Namun, penelitian antropologisnya yang
didukung seluas-luasnya oleh sumber tradisi lisan, foto, maupun lukisan
telah membuktikan bahwa pembagian geografis dan rekonstruksi sejarah
Barat selama ini tidak selamanya mampu memperlihatkan sejarah
masyarakat-masyarakat khas di kawasan ini yang sesungguhnya.
Banyak hal baru
Topik-topik yang dibahas Warren dalam
buku ini memang nyaris tak pernah tersentuh sejarawan sebelumnya.
Memunculkan kisah perbudakan yang terjadi terhadap suku Bajau (orang
laut) dalam konteks Kesultanan Sulu dan kisah industri prostitusi dan
penarik rickshaw yang miskin dan kelaparan dalam sejarah kolonial
Singapura telah menampilkan jajaran medley topik-topik di kawasan ini,
yang mengacu pada teori bahwa sejarah sosial dan budaya kawasan tersebut
sebenarnya memang berproses evolutif dari bawah ke atas.
Selain saling berkaitan erat secara
ekonomi dan politik, proses- proses yang terjadi pada komunitas tersebut
telah menyumbangkan wajah Asia Tenggara modern yang dikenal sekarang.
Mereka memainkan peran formatif mentransformasikan wilayah ini di aspek
ekonomi, sosial dan budaya, yakni akar kuat sejarah komunitas-komunitas
di Asia Tenggara.
Bila kita memahami konsep kewilayahan
Asia Tenggara dalam perspektif seperti itu, kekecewaan yang muncul
karena tidak ditemukannya esai khusus tentang Indonesia (sebagaimana
kesan awal) terhadap buku ini menjadi pupus dan tidak berdasar. Artinya,
dinamika sejarah kelompok- kelompok masyarakat yang diungkap
sesungguhnya sudah mencakupi Indonesia, meskipun secara politis mereka
kini terpartisi atas wilayah Asia Tenggara modern dalam konteks negara
modern Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Menampilkan 16 esai sejarah yang pernah
muncul dalam pelbagai jurnal ilmiah, buku ini dapat dibagi atas tiga
tema besar penelitian sejarah Asia Tenggara. Tema pertama merupakan
riset mengenai sejarah muncul dan berkembangnya dunia maritim pada paruh
akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, di zona wilayah perairan dalam
di bawah pengawasan kuat Kesultanan Sulu.
Warren berhasil menunjukkan bahwa
kontrol dan penguasaan kekuasaan tersebut telah mentahbiskan Kesultanan
Sulu sebagai jantung globalisasi perdagangan dunia terpenting masa itu.
Berkat aktivitas perdagangan komoditas hasil laut, merajalelanya
aktivitas perompak laut yang berhubungan kuat dengan praktik perbudakan
(penjualan dan eksploitasi manusia) dalam satu konteks berproses,
berevolusi dan mengkristal untuk meninggalkan suatu budaya tersendiri,
yang kini pengaruhnya membentang jauh hingga ke Selat Malaka di sebelah
Barat.
Dalam buku ini, sejarah orang- orang
yang selama ini termarginalkan dalam karya-karya lain, bukan saja
berhasil diangkat ke tempat utama dalam panggung sejarah, tetapi juga
sekaligus memperlihatkan proses-proses panjang perjalanan yang kompleks
dan menjadi cikal bakal terbentuknya perdagangan antar- Asia di era
modern. Kisah para perompak laut di perairan itu, kelompok orang dan
gipsi laut abad ke-18 hingga ke-19, ditampilkan penulisnya sebagai cara
penjelasan untuk melihat sejarah Asia Tenggara dalam hubungannya dengan
aspek-aspek politis yang lebih luas.
Topik kedua dalam buku ini berpendar
seputar masa lalu atau sejarah sosial Singapura kolonial. Dipusatkan
pada kisah kaum penarik rickshaw yang bermigrasi dari selatan China,
nuansa sejarah masa lalu Singapura pun kian tersingkap. Pelbagai kisah
kehidupan pekerja seks pendatang yang sebelumnya tak pernah diungkap
sejarawan lain diangkat penulisnya tidak saja secara solo, tetapi
sekaligus terkombinasi secara paralel dengan kisah penarik rickshaw.
Hasilnya, rekonstruksi sejarah menarik dari orang-orang kecil yang
begitu kaya nuansa karena menonjolkan tema penderitaan, kemiskinan,
ketidakberdayaan, dan eksploitasi yang jarang ditulis dalam kronik
sejarah.
Tema ketiga, yakni kumpulan tulisan yang
memfokuskan pada hubungan erat antara kejahatan transnasional, yang
meliputi pembajakan di laut dan human trafficking (perdagangan manusia)
setelah dibukanya China awal abad ke-21 di wilayah Asia Tenggara,
merupakan pembahasan paling relevan terutama untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan pelik kontemporer kawasan itu.
Pendekatan multidisipliner
Publikasi terbaru Sally Cameron dan
Edward Newman, Trafficking in Humans; Social, Cultural and Political
Dimensions (2008), memperlihatkan bahwa di negara-negara berkembang
fenomena perdagangan manusia dan kejahatan terorganisasi cukup
mendominasi fenomena penyebab krisis global dunia di abad ke-21 ini.
Buku itu lebih jauh juga mengungkap
bahwa aktivitas kejahatan terorganisir dan pola migrasi global yang juga
menjangkiti kawasan Asia Tenggara masih begitu sulit ditangani. Salah
satu penyebabnya adalah kegagalan penemuan strategi ampuh penanganan
karena kurangnya pengetahuan kita atas fenomena itu.
Proses globalisasi dalam konteks
perompak di wilayah maritim Asia Tenggara, di mana masalah perdagangan
manusia itu masuk di dalamnya, adalah fokus dari pembahasan penting di
akhir buku ini (hal 309-331). Analisa tajam penulis menyediakan jawaban
atas pertanyaan seputar dinamika akar masalah tersebut.
Dengan mengaitkan fenomena itu dengan
aktivitas beberapa abad lalu, termasuk dalam kejahatan maritim dan
perdagangan manusia, disimpulkan bahwa fenomena perompak laut dan
kejahatan maritim era modern di perairan Asia Tenggara bukanlah fenomena
baru. Pada intinya, ia menyediakan suatu imajinasi bahwa sejarah yang
terjadi pada era 1968-2000 di Indonesia, Thailand, maupun Filipina
memiliki korelasi kuat dengan dampak booming ekonomi di Asia Tenggara
yang terjadi hampir tiga abad lalu, yaitu era 1768-1800.
Jelaslah, karya ini menjadi satu dari
beberapa karya baru yang telah membuka kemungkinan- kemungkinan bagi
penulisan sejarah komunitas-komunitas di Asia Tenggara dilakukan lewat
pendekatan multidisipliner yang kaya detail, imajinatif, dan mendalam.
Mereka yang tengah melakukan studi Asia
Tenggara, utamanya pemerhati aspek-aspek maritim, perlu mempertimbangkan
buku ini secara sungguh-sungguh. Betapa cerita mengenai
komunitas-komunitas kecil di Asia Tenggara yang diangkat Warren telah
makin membukakan cakrawala baru demi terkuaknya pemahaman baru yang
lebih kritis dalam studi kawasan ini.
No comments:
Post a Comment